Kamis, 14 Agustus 2014

Budaya, Makanan dan Ciri Khas Pasuruan


Budaya pasuruan

Salah satu aset penting yang dimiliki Kota Pasuruan saat ini adalah keberadaan
bangunan kuno yang memenuhi unsur sebagai bangunan cagar budaya. Namun sayangnya, aset itu saat ini belum dilirik oleh Pemkot untuk kemudian dikelola secara optimal dengan titik muara dapat memberikan benefit kepada masyarakat Kota Pasuruan. Padahal keberadaan bangunan tua ini dapat memperteguh eksistensi Kota Pasuruan sebagai kota tua.
Mangkrak, kumuh dan tidak terurus. Bahkan beberapa diantaranya sudah dalam kondisi rusak parah. Itulah sebagian kondisi bangunan kuno yang saat ini ada di Kota Pasuruan. Memang ada beberapa diantaranya yang masih dalam kondisi terawat, seperti bangunan gedung wolu, rumah singa, gedung P3GI (terutama bagian aulanya), ataupun gereja katholik St Padova. Ada berbagai faktor yang menjadikan bangunan-bangunan tua itu dalam kondisi memprihatinkan, salah satu diantaranya adalah belum adanya payung hukum yang menjadi pegangan instansi terkait untuk menggulirkan kegiatan yang berujung pada upaya pelestarian bangunan-bangunan kuno tersebut. Ditambah lagi status kepemilikan bangunan-bangunan tua oleh perseorangan-perseorangan.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas ditambah dengan nilai kemanfaatan yang dapat diambil oleh Pemkot dengan adanya bangunan-bangunan kuno tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Kota Pasuruan melakukan kajian pelestarian bangunan kuno di Kota Pasuruan. Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan, Ir. Didik Chairudi menjelaskan, tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah untuk menginventaris serta menganalisis kondisi dan potensi bangunan kuno yang ada di Kota Pasuruan.
“Dari hasil penelitan ini nantinya akan ada rekomendasi yang kita berikan untuk instansi terkait tentang hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya untuk melestarikan bangunan-bangunan kuno tersebut,” jelasnya.
Berdasarkan inventarisasi yang pernah dilakukan Badan Arkeologi Yogyakarta beberapa tahun silam, bangunan kuno di Kota Pasuruan yang mempunyai potensi dijadikan cagar budaya ada 110 bangunan. Namun untuk penelitian yang dilakukan Bapeda ada beberapa kriteria dalam pemilihan obyek penelitian. Diantaranya adalah bangunan harus berusia minimal 50 tahun, memiliki ciri arsitektur khas Arab, China, Tradisional maupun kolonial serta berlokasi di jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan roda empat.
“Kenapa kita fokuskan bangunan yang ada di tepi jalan beraspal adalah lokasi-lokasi tersebut semasa jaman kolonial merupakan permukiman yang berada di sekitarheerenstrat dan hofdstraat. Ini didasarkan penelusuran peta Pasuruan tahun 1900,” katanya panjang lebar.
Banyaknya bangunan tua di Kota Pasuruan saat ini tidak lepas dari rekam jejak di masa lalu. Dimana Kota Pasuruan di masa lalu pernah menjadi daerah yang cukup menggiurkan untuk melakukan perdagangan dengan keberadaan bandara laut. Adanya bandara laut ini pula yang menarik minat warga China daratan merantau dan kemudian tinggal di Kota Pasuruan. Tercatat nama Kapitan Han yang pernah menjadi saudagar kaya raya dan bangunan tempat tinggalnya hingga sekarang masih ada. Keberadaan masyarakat China perantauan ini pula yang menjadikan di Kota Pasuruan banyak ditemukan bangunan-bangunan kuno beraksen China.
“Namun gayanya tidak sepenuhnya China. Istilahnya, bangunan-bangunan itu menganut gaya electisme yakni mencampurkan budaya China, lokal dan Eropa. Inilah yang nampak pada bangunan gedung wolu ataupun rumah singa,” jelas Didik.
Kejayaan Kota Pasuruan terus berlanjut dimasa kolonial dengan dijadikannya sebagai ibukota residensi. Status sebagai ibukota residensial inilah yang mendorong dibangunnya berbagai fasilitas publik seperti rumah sakit, gedung perkantoran maupun permukiman untuk orang-orang Hindia Belanda. Bangunan-bangunan itu kebanyakan didirikan di sepanjang kawasan Hereenstrat (Jalan Pahlawan, red) yang di masa lalu menjadi kawasan elit. Ciri khas yang melekat kuat di bangunan-bangunan yang didirikan semasa jaman kolonial ini adalah gaya arsitekturnya yang menganut aliran Indische Empire.
“Sayangnya, sekarang ini sudah banyak bangunan tua yang hilang seperti gedung hotel Morbeck, Hotel Tonjas dan lain sebagainya,” ungkap Didik.
Dari hasil penelitian oleh Bapeda yang menggandeng pihak ketiga ini didapatkan hasil bahwa bangunan-bangunan kuno yang ada sekarang ini hampir 70 persennya dikuasai perseorangan, sedangkan sisanya dalam penguasaan pemerintah kota yang dijadikan untuk perkantoran. “Dengan proporsi semacam ini yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai pilot project dalam upaya pelestarian bangunan kuno adalah bangunan kuno yang dimiliki Pemkot. Kalau yang dikuasai perseorangan harus ada langkah-langkah strategis karena dana yang digunakan untuk pelestarian akan diambilkan dari APBD,” jelas Didik.
Selain itu, hasil penelitan menunjukkan 57 persen bangunan kuno yang dijadikan obyek penelitan dalam kondisi terawat baik, sedangkan 43 persen tidak terawat dan sisanya sebanyak 30 persen kurang terawat. Sebagian besar yang kondisinya yang kondi sinya tidak terawat adalah bangunan-bangunan yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Adapun motif yang membuat mereka enggan melakukan perawatan adalah keterbatasan pendapatan dari pemiliknya serta pertimbangan dari pemilik yang merasa tidak mendapatkan manfaat atas bangunan tersebut.
Terkait dengan upaya pelestarian bangunan kuno, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti melakukan konservasi, restorasi ataupun rehabilitasi. Cara konservasi adalah dengan melakukan pemeliharaan, melindungi dan memanfaatkan bangunan secara efisien. Cara konservasi ini memberikan peluang untuk pemanfaatan bangunan kuno yang dapat memberikan keuntungan senyampang tidak mengancam keasliannya.
Didik mengemukakan, dilihat dari karakteristik bangunan kuno yang saat ini ada di Kota Pasuruan, cara yang paling tepat adalah dengan metode konservasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian bangunan kuno yang ada telah mendekati usia di atas 100 tahun. “Selain itu, dilihat dari proporsi kepemilikannya yang sebagian besar dimiliki individu,” tukasnya.
Dari hasil kajian dan kemudian dilakukan analisis, dari 110 bangunan yang menjadi obyek penelitan, 48 diantaranya masuk kategori prioritas untuk dilestarikan. Ke 48 bangunan kuno itu diantaranya adalah gedung P3GI, gedung Kantor Dinas Pendapatan, gedung Suropati dan lain sebagainya. “Tapi hasil penelitian ini belum sampai pada penetapan bangunan kuno tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Untuk itu perlu ada kajian lagi dan pemberian status sebagai cagar budaya hanya dapat dilakukan oleh instansi tertentu,” kata Didik. 


Kuliner Khas Pasuruan

BIPANG JANGKAR

Inilah produk pertama Bipang Jangkar . Dari kiri ke kanan : Bipang Djangkar Biru (DB), Djangkar Hijau(DH), dan Djangkar Merah(DM). Bipang DB dan DH merupakan bipang rasa vanila. Inilah “original flavour” dari bipang. Kemudian rasa vanila dicoba dikombinasikan dengan susu, sehingga terciptalah Bipang DM. Kemasan kertas ini masih kami pertahankan sampai sekarang untuk menjaga keaslian citarasa Bipang.
bipang tutty fruity
Sekitar tahun 1980-an  terciptalah Bipang Jangkar rasa Tutty Fruity. Bipang ini menggunakan esen Tutty Fruity. Rasanya harum dengan aroma buah-buahan.
bipang kelapa-susu
Seiring perkembangan jaman, Bipang Jangkar mulai dikembangkan dengan berbagai macam rasa dan dibuat kemasan satuan. Ini membuat bipang lebih praktis dan tahan lamah
Ciri Khas Pasuruan

Batik Khas Kota Pasuruan

Batik adalah warisan nenek moyang dengan cita rasa intemasional. Dengan mengutamakan kreatitas dan seni menggambar,  karyaasli bangsa Indonesia ini telah mendapatkan pengakuan masyarakatintemasional dengan menjadikannya sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco. Keberadaan batik di Indonesia memang sudah menyatu kuat dengan denyut nadi kehidupan masyarakatIndonesia. Hampir di seluruh daerah di Indonesia dapat ditemukan mahakarya ini dengan ciri khasnya masing-masing. Tidak terkecuali Kota Pasuruan yang menonjolkan corak kembang sirih dan burung kepodangnya.


sumber : http://jawatimuran.wordpress.com